Sabtu, 14 Januari 2012

URGENSI DAN RELEVANSI FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Filsafat hukum dan pembangunan hukum pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda, namun memiliki titik temu pada objek pembahasannya yaitu tentang hukum. Filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan, sementara pembangunan hukum merupakan suatu kebijaksanaan yang bersifat nasional dalam bentuk pembangunan di bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum menjadi penting karena bertujuan untuk menghasilkan produk-produk hukum yang dapat mendukung dan mengamankan pembangunan hukum Nasional dan sebagai aktualisasi dari konsep Negara hukum sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang dasar 1945.

Sebagai suatu disiplin keilmuan, filsafat hukum melakukan usaha pengkajian tentang hukum secara mendasar dengan sistematis dan dengan metode yang rasional. Oleh karena itu filsafat hukum akan memberikan jawaban terhadap apakah hukum itu, yang pada hakikatnya pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh hukum dan ilmu-ilmu lainnya. Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan dibangun akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai juridis. Di samping itu filsafat hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya.

Pembangunan hukum yang dilandaskan pada nilai-nilai tersebut tidak saja menciptakan dan melahirkan hukum-hukum yang bias menjawab berbagai kebutuhan masyarakat secara internal, akan tetapi juga akan dapat menjawab dan sekaligus merespon perkembangan kehidupan sejalan dengan dinamika pembangunan bangsa. Pembangunan hukum yang dilandasi oleh nilai dasar atau nilai ideologis, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai juridis serta nilai filosofisnya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk dapat menikmati rasa keadilan, kepastian dan manfaat hukum yang pada akhirnya akan bermuara kepada pembentukan sikap dan kesadaran masyarakat terhadap hukum. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).

2. Permasalahan

Adapun permasalahan dari paper dengan judul “ Urgensi dan Relevansi Filsafat Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia “ yang akan diuraikan oleh Penulis dalam tulisan ini adalah :

a. Apa sajakah yang menjadi kajian filsafat hukum ?

b. Bagaimanakah pembangunan hukum di Indonesia ?

c. Bagaimanakah peranan filsafat hukum dalam pembangunan hukum di Indonesia ?

3. Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan paper ini berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas, adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kajian filsafat hukum.

b. Untuk mengetahui bagaimana pembangunan hokum di Indonesia.

c. Untuk mengetahui peranan filsafat hukum dalam pembangunan hukum di Indonesia.

4. Kegunaan Penulisan

Semoga dalam penulisan paper ini dapat berguna bagi semua pihak. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan semoga keberadaan paper ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.


5. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui buku-buku dan tulisan lainnya.

6. Sistematika Penulisan

Dalam memudahkan memahami isi paper ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

2. Permasalahan

3. Maksud Dan Tujuan

4. Kegunaan Penulisan

5. Metode Penulisan

6. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

1. Kajian Filsafat Hukum

2. Pembangunan Hukum di Indonesia

3. Peranan Filsafat Hukum salam Pembangunan Hukum di Indonesia.

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

PEMBAHASAN

1. Kajian Filsafat Hukum

Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri. Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.

Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (das sein), tetapi berada pada dunia nilai (das sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.

Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum. Ada permasalahan penting yang dibahas oleh filsafat hukum yaitu : adakah pengertian hukum yang berlaku umum, apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum dan adakah sesuatau hukum kodrat. Selanjutnya yang perlu dikaji dalam filsafat hukum antara lain : hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya, apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang, apa sebab orang menaati hukum, masalah pertanggungjawaban, masalah hak milik, masalah kontrak dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya.Tinjauan tersebut yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis.

a. Tinjauan Ontologis

Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls being is material), sementara lainnya menyebutkan semua yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit). Hal tersebut akan menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang melihat suatu objek tertentu. Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut.

b. Tinjauan Epistemologis

Tinjauan epistemologis menyoroti tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.

c. Tinjauan Aksiologis

Adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari suatu objek tertentu.

Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode, sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berhubungan.

Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.

Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu.1

Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :

a. Radikal, berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya.

b. Universal, adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum.

c. Konseptual, yang dimaksud dengan konsep di sini adalah hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual.

d. Koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.

e. Konseptual, yang dimaksud dengan konsep di sini adalah hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual.

f. Sistematik, berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu.

g. Komprehensif, adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.

h. Secara bebas sampai batas-batas yang luas.

i. Bertanggungjawab, pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.

Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata. Berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling.

Filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret.2

Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.3

Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Seperti yang di nyatakan oleh Sugiyanto Darmadi berikut ini :

Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.4

Sementara itu Poerwantana berpendapat bahwa :

Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. 5

Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya.

Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner). Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.

Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.

2. Pembangunan Hukum Di Indonesia.


Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Dalam upaya pembaharuan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarki peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat, Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama ini belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku. Sementara itu, setelah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 60 tahun terakhir. Didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, hal ini dirasa sesuai mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan roh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri .

Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita . 21 Dengan demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik. Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non-fisik. Apabila diteliti semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan dengan perubahan, bagaimanapun kita mendefenisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.

Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum. Sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). Sehingga, bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna yang lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.

Pada satu pihak, pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan penjajah) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain, pembangunan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat. Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pambangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan menengah dan jangka panjang. Meskipun disadari, setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.

Di negara- negara berkembang, pembangunan hukum merupakan prioritas utama. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang ini pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas pengahapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembangunan hukum berperan dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dan negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.

Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyonsong era mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normative dan atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial (social control), tetapi juga memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial.

3. Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia.


Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila. Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan.

Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.

Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.

Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hokum itu sendiri.6

Kajian filsafat hukum melihat jauh lebih dalam lagi, tidak hanya sekedar bagaimana ketentuan hukum positif menentukan masalah dan latar belakang sejarahnya, tetapi bagaimana nilai-nilai hakiki yang mendasari ketentuan tersebut sehingga filsafat akan lebih banyak berhubungan dengan masalah nilai-nilai dasar dari hukum, Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris (das sein) sedang filsafat hukum melihat hukum sebagai suatu yang tersembunyi di balik aturan hukum berupa suatu hukum yang ideal (recht idea) yang tidak termasuk dalam dunia kenyataan (das sein) melainkan termasuk dunia nilai. Sementara itu, pembangunan hukum nasional, baik dalam dimensi konstitusional, dimensi juridis sosiologis dan dimensi perspektif dan kemudian dikemukakan bagaimana strategisnya pembangunan hokum nasional sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945. Begitu urgen dan strategisnya pembangunan hokum nasional, maka pembangunan hukum nasional harus didasari oleh landasan idiil, strukturil dan operasionalnya.

Dari landasan dasar pembangunan hukum nasional tersebut disusun pola arah pembangunan hukum nasional yang pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan produk hukum yang dapat mengatur tugas urnum pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan nasional, sehingga tercipta rasa keadilan sesuai dengan kemanusiaan dan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat yang sadar dan taat kepada hukum. Bertitik tolak dari urgen dan strategisnya pembangunan hukum dalam totalitas pembangunan nasional, pola dasar, arah dan strategi dasarnya, maka dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan hukum nasional bertujuan untuk membentuk, meningkatkan dan mengembangkan sikap kesadaran masyarakat bangsa Indonesia terhadap hukum. Tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap hukum akan dapat tercipta apabila masyarakat telah mendapatkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari hukum yang dibangun. Atas dasar konsepsi tujuan pembangunan hukum yang dilaksanakan bangsa Indonesia sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka persoalan yang pertama dan utama yang akan timbul adalah "hukum yang bagaimana yang akan dibangun itu" untuk menjawab pertanyaan yang sederhana ini tidaklah semudah mempertanyakannya, disebabkan pertanyaan tersebut akan berlanjut kepada pertanyaan yang bersifat filosofis yaitu "apa itu hukum" atau "apa hakikat hukum itu". Jika hukum dinyatakan hanya dalam bentuk gejala sosial, dan hukum dalam pengertian ini yang akan dibangun, maka dapat ditegaskan bahwa pola pikir dan konsepsi hukum yang demikian tidak akan dapat menjawab tujuan pembangunan hukum.

Hukum dalam pengertian gejala sosial hanya bersifat formalitas dan bersifat lahiriah semata, oleh karena itu hukum dalam pengertian ini tidak akan dapat mengaktualisasikan rasa keadilan dan moralitas. Tujuan pembangunan hukum nasional hanya akan dapat dicapai, apabila tercipta suatu pola pandang tentang hukum yang akan dibangun itu tidak saja hukum dalam pengertian gejala sosial, akan tetapi hukum yang terkait dengan nilai-nilai dasar dan ideologi, nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral dan susila serta nilai-nilai keadilan.

Dengan demikian maka hukum yang akan dibangun itu adalah hukum yang dilandasi oleh nilai-nilai yang bersifat universal dan terdapat pada setiap manusia yang disebabkan dengan keberadaannya yang manyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hanya dengan memandang hukum dalam konsepsi inilah akan dapat diwujudnyatakan tujuan pembangunan hukum nasional. Dalam usaha untuk melakukan ini, hukum ditempatkan pada kedudukan di tengah-tengah sistem nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Indonesia.7

Jika hukum telah dapat dipandang dalam konsepsi yang menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal, maka suka atau tidak suka, disenangi atau tidak disenangi keberadaan filsafat hukum memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Persoalan hukum yang berhubungan dengan nilai-nilai, hanya dapat dijawab melalui filsafat hukum. Pemikiran sistematik teori hukum pada satu sisi berkaitan dengan filsafat dan sisi lain dengan teori politik. Seringkali titik tolaknya adalah filsafat dan ideologi politik berperan sebagai pelengkap. Misalnya dalam system skolastik

Pada akhirnya seorang ahli hukum akan mengartikan hukum, sebagai jalinan nilai-nilai, dan nilai-nilai tersebut akan dirumuskannya sebagai konsep-konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik akan dianutnya dan apa yang dianggap buruk harus dihindari sehingga filsafat hukum akan memberikan jawaban yang tidak terjawab oleh ilmu hukum.8

Dalam kontek inilah filsafat hukum memainkan perannya dalam mengisi pembangunan hukum nasional, sebab filsafat hukum itu memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang hukum, filsafat hukum memiliki nilai yang sangat tinggi terutama bagi ahli hukum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum turut menentukan pilihan terhadap hukum yang akan dibangun.



BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis dapat menyimpulkan pembahasan sebagai berikut :

a. Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan juga berusaha mengkaji hukum sebagai objeknya secara mendasar dengan sistematis dan metode yang rasional memiliki peranan penting dalam pembangunan hukum nasional.

b. Pentingnya filsafat hukum dalam pembangunan hukum nasional dikarenakan hanya dengan filsafat hukum sebagai salah satu variabelnya pelaksanaan pembangunan hukum nasional akan dapat menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dan sekaligus dapat merespon perkembangan kehidupan seiring dengan dinamika pembangunan nasional.

c. Dengan filsafat hukum akan tercipta pilihan-pilihan yang tepat terhadap hukum yang akan dibangun oleh karena filsafat hukum akan menentukan hukum yang berdimensi nilai dasar, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai juridis, sehingga hukum yang lahir sebagai produk pembangunan hukum nasional tidak saja hukum dalam arti gejala sosial kemasyarakatan semata, akan tetapi hukum yang diproduk adalah hukum yang memiliki dimensi moral, dimensi keadilan, dimensi kepastian dan dimensi kemanfaatan yang pada akhirnya akan bermuara kepada semakin tumbuh dan berkembangnya sikap dan kesadaran masyarakat terhadap hukum yang mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh aparat negara yang berwenang.

2. Saran-saran

a. Hendaknya bagi pemegang kekuasaan di Indonesia terutama (legislatif, Eksekutif, dan yudikatif), agar selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang filsafat hukum, serta pemahaman terhadap Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia (Pancasila), agar pembaharuan atau hukum yang diciptakan adalah benar-benar merupakan rules for the game of life bagi masyarakat luas.

b. Hendaknya sering dilakukan diskusi (pembahasan ulang) oleh pakar filsafat hukum terhadap perundang-undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas, dan tentunya peran diskusi ilmiah antar pakar filsafat hukum di indonesia sangatlah urgen untuk dilakukan dalam mengubah hukum yang hanya mengedepankan legalitas belaka, tanpa melihat living law yang terjadi dalam masyarakat, serta mengingat sekian lama Indonesia di doktrin oleh Belanda untuk ”dipaksa”, memakai sistem Civil law yang bermuara pada legalitas belaka, yang terkadang sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya.

c. Terkhusus bagi para mahasiswa pemerhati hukum pada Perguruan Tinggi, haruslah terus belajar terhadap hakikat filsafat hukum, yang nantinya pasti akan berguna bagi perbaikan sistem hukum di Indonesia yang masih dirasa carut marut. (by. ekobudi)

----------------------------------------------------------------------------

1 Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten : Intan Pariwara, 1997, hal. 17

2 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 17.

3 Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Bandung, Mandar Maju, 1998, hal. 18.

4 Ibid.

5 Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, Rosda Karya, 1988 hal. 8.

6 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982, hal 321.

7 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1983, hal 233.

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hufeum, Jakarta, UI Press, 1984, hal.44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar